IDENTITAS BUKU :
Judul : Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang
Penulis : Wisnu Suryaning Adji
Penerbit : Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Tahun Terbit : 2022
ISBN : 978-602-291-984-1
Tebal : 266 hlm
BLURB dan SINOPSIS
"Dia laki-laki Tionghoa yang tinggal bersama anak-anaknya melewati tahun 1965.Berbagai kejadian menguji kekuatan hidupnya.Dia bertahan.Dia hidup memewati zaman.Dia menua, hingga merasa telah hidup terlalu lama.Kini, dia cuma menginginkan satu hal: Mati.Ternyata, mati juga sama sulitnya."
Kematian.
Mungkin adalah salah satu topik pembicaraan yang paling dihindari. Membicarakan kematian sama dengan membicarakan kesedihan. Kesedihan tentang perpisahan dan kehilangan selamanya.
Tapi apa yang terjadi jika kematian adalah sebuah keinginan yang ingin segera diwujudkan? Terutama kematian yang tenang tanpa terbebani masalah-masalah pelik dalam kehidupan.
Dalam buku "Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang" ini kematian merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh sang tokoh utama. Ncek (panggilan aku si tokoh utama) begitu ingin untuk bisa mati dengan tenang. Sengkarut perjalanan hidupnya sejak kecil hingga tua membuat sosok Ncek jengah dengan segala kondisi yang ada di sekitarnya. Sehingga dia ingin segera mengakhiri problematika kehidupannya itu dengan mati dengan tenang.
Tapi ternyata mati dengan tenang tidak semudah yang dibayangkan dan diinginkan. Ncek masih memiliki permasalahan yang harus diselesaikannya. Masalah dengan keluarga (anak-anaknya) juga dengan dirinya sendiri yang nyatanya selama hidup tidak pernah dengan secara sadar diselesaikannya dengan baik. Yang kemudian diketahui secara tersirat bahwa permasalahan itu adalah manifestasi luka batin (trauma) dalam diri Ncek yang tak pernah disembuhkan. Luka itu begitu dalam menyakiti psikilogis Ncek sebagai seorang laki-laki, suami, dan juga ayah.
Lantas apakah yang terjadi dengan Ncek di kehidupan masa lalunya hingga membentuk sosok Ncek saat ini yang penuh kekecewaan, amarah, dan juga trust issue (masalah kepercayaan)?
Apakah Ncek akan berhasil menyelesaikan permasalahannya dan mewujudkan keinginan mati dengan tenangnya? Ataukah justru buku ini memberikan alternatif lain yang bisa membuat pembaca memiliki persepsi/interpretasi lain terhadap Ncek dan seluruh kisah perjalanan hidupnya?
KESAN
Jujur, ketika awal membaca judul buku ini, aku agak ngeri-ngeri merinding karena menyeret-nyeret tentang kematian. Tapi ngeri-ngeri merinding itu kemudian berubah jadi tertarik karena tokoh utama dalam buku ini adalah seorang laki-laki Tionghoa yang melewati kejadian tahun 1965 dimana semua orang tahu di tahun tersebut ada sebuah kejadian memilukan yang tak hanya membawa trauma bagi warga pribumi tapi juga warga-warga keturunan Tionghoa yang akibat dari kejadian tersebut mendapat stigma negatif hingga perlakuan-perlakuan kejam tak berperikemanusiaan.
Latar belakang tokoh utama tersebut lah yang membuatku penasaran. Bagaimana Mas Wis sebagai penulis akan menggambarkan, menceritakan kisah hidup seorang laki-laki Tionghoa yang bertahan hidup dari waktu ke waktu ditambah dia pernah mengalami pahitnya kejadian di tahun 1965.
Dan benar saja tokoh Ncek benar-benar membuat perasaanku jungkir balik. Di awal buku, aku benar-benar dibuat tersinggung, marah, dan cukup sakit hati dengan narasi yang disampaikan Ncek. Dia seperti sangat membenci anak-anak dan juga menantunya. Menganggap anak-anak itu bodoh, tidak piawai dalam melakukan pekerjaan, dan selalu menyalah-nyalahkan semua perbuatan yang mereka lakukan. Intinya semua perbuatan yang dilakukan anak-anak tidak pernah ada yang benar di mata Ncek.
Sungguh, aku tidak habis pikir, dari mana anak-anakku mendapatkan bakat bodoh dan pemalas. Kecuali malaikat telah mengirimkan paket berisi bayi yang keliru kepadaku, aku tidak bisa menduga alasan lainnya. -hlm.18Mereka anak-anak bodoh, dan aku tidak tahu konspirasi macam apa yang sudah terjadi sehingga aku yang pintar dan istriku yang baik hati bisa melahirkan anak-anak yang kesulitan berpikir, dan tak memikirkan bahwa klip staples berbahaya untuk sistem pencernaan manusia. Kurasa memang benar, malaikat yang bertugas membagikan bayi telah mengirimkan bayi yang keliru ke alamat yang salah akibat petunjuk denah yang kurang akurat. Anak-anakku seharusnya dilahirkan dalam rumah-rumah milik pasangan-pasangan bodoh yang lebih cocok sebagai orang tua mereka. Bukan rumahku. Bukan rahim istriku. -hlm.22
Wah asli yaaa sebagai anak, aku merasa sakit banget waktu baca narasi/kalimat Ncek itu. Aku ketriggered sampe langsung nutup bukunya, ngambil napas dalam-dalam, mencoba merdakan emosi dan keinginan untuk ngelempar buku saking keselnya! Bisa-bisanya seorang ayah bilang gitu tentang anaknya!
Bukannya kelakuan anak itu secara tidak langsung adalah bentukan dari didikan dari orang tua? Hasil mencontoh kelakuan orang tua? Jadi kelakuan anak-anak Ncek itu juga secara tidak langsung adalah hasil dari didikan Ncek (dan istrinya) juga dong. Yang berarti juga lagi-lagi secara tidak langsung Ncek mengajarkan hal yang salah pada anaknya dan membenci hasil didikannya. Tapi kenapa Ncek tidak introspeksi dan justru hanya menyalahkan anak-anaknya, dan sistem pendidikan Indonesia yang lagi-lagi menurut Ncek hanya menghasilkan anak yang tidak berguna.
Aku kemudian membayangkan bagaimana perasaan anak-anak Ncek jika tahu ayahnya memandang mereka dengan sebegitu negatifnya. Apakah anak-anak itu akan sakit hati juga? Padahal yang mereka lakukan kan mencoba merawat (berbakti) pada Ncek, ayah mereka di sisa usianya. Tapi kenapa Ncek justru berpikir begitu pada anak-anaknya? Meski ya harus diakui ada perilaku anak Ncek yang salah seperti hampir selalu ceroboh saat mengemas bekal makanan Ncek. Dan rencana menjual rumah yang mereka ditinggali padahal Ncek secara jelas dan terang-terangan menolaknya juga hal yang harus diakui salah dari sikap anak-anak Ncek.
Tapi kemudian aku mencoba kembali berpikir, dengan backgroundnya sebagai seorang laki-laki Tionghoa yang hidup dalam lintas waktu yang cukup panjang di negeri yang sempat tak ramah pada warga keturunan ini pasti ada alasan, ada latar belakang kenapa Ncek bersikap sebegitu.
Dan benar saja, seiring perjalanan dan perkembangan cerita, perasaan marah dan kesalku pada Ncek pelan-pelan berubah. Aku mulai bisa memahami kenapa Ncek bersikap seperti itu di masa tuanya. Ada hal-hal di masa mudanya yang membuat Ncek tua memiliki penyesalan, trauma, yang kemudian menjadikannya memiliki semacam trust issue kepada orang lain.
Ncek anak-anak adalah anak yang tidak mengenal orang tua. Dia dibesarkan di panti asuhan dengan ayah asuh yang 'galak'. Teman-temannya kerap membully Ncek yang mungkin terlihat berbeda dari anak-anak lain di panti asuhan. Tidak tahan dibully Ncek melarikan diri.
Untuk menyambung hidup, Ncek bekerja sebagai kuli panggul di pasar dan tidur di sembarang tempat karena tak punya tempat tinggal. Kehidupan Ncek sedikit membaik ketika A Pe seorang penjual beras di pasar membantunya, mengizinkan Ncek tinggal bersama dengan keluarganya. Anak perempuan A Pe lah yang meminta kepada Papanya untuk membantu Ncek.
Namun, kehidupan nyaman Ncek di rumah A Pe tidak bertahan lama ketika anak perempuan A Pe mengajak Ncek untuk pergi melarikan diri. Ya, dua anak itu saling jatuh cinta tapi jelas A Pe tidak menyetujui dan merestui hubungan mereka. Berkali-kali permintaan anak perempuan A Pe untuk bisa menikah dengan Ncek ditolak oleh A Pe. Hingga akhirnya dua anak itu pergi melarikan diri.
Lagi-lagi, kehidupan pelarian tak memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi Ncek dan anak perempuan A Pe yang kemudian menjadi istrinya. Meski mereka bisa bertahan dan berjuang tapi hubungan yang tak harmonis dengan orang tua membuat Ncek dan istrinya menyesali keputusan dan perbuatan mereka. Ada rasa bersalah dalam diri mereka. Tapi meski merasa bersalah dan menyimpan luka, Ncek dan istrinya tetap menjalani kehidupan yang telah mereka pilih karena mereka sudah memahami konsekuensi dari segala keputusan dan perbuatan mereka.
Hingga kemudian terjadilah tragedi 1965 dan kejadian-kejadian penyerta setelahnya. Meski masih tak diterima, Ncek datang kepada A Pe memberitahu A Pe untuk segera mengungsi karena keadaan begitu berbahaya terlebih untuk kaum seperti mereka. A Pe sempat menolak tapi berkat paksaan seorang kerabat A Pe bersedia untuk mengungsi. Tapi tidak dengan istri Ncek.
Saat Ncek datang untuk memeriksa toko beras dan rumah yang ternyata sudah dijarah dan diobrak-abrik orang tak dikenal, sang istri masih disana, bersikukuh tetap bersama Ncek menemaninya. Sebuah keputusan naas yang kemudian membawa istri Ncek dan juga Ncek sendiri mengalami sebuah kejadian menyesakkan, memberikan trauma yang sangat mendalam bagi sepasang suami-istri itu hingga akhir hayat mereka. *dahlah aku gak tahan buat nyeritain apa kejadian dialami Ncek dan istrinya. Kejadiannya keji dan biadab. Sampe aku misuh-misuh kesal pas baca. Padahal di buku cuma diceritain dan dijelasin dalam 2 halaman, tapi marah, sedih, dan traumatisnya sampe setebal bukunya! KZL!*
Bukti misuh-misuh |
Two thumbs buat Mas Wis sebagai penulis yang begitu piawai menceritakan kronologis kehidupan Ncek. Sejak dia anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia. Meski diceritakan dalam alur maju mundur, aku secara pribadi cukup bisa memahami mana bagian masa kini dan mana bagian masa lalu meski tidak ada pembeda yang cukup jelas dlm penulisan settingnya. Tapi ada kalanya, aku jadi sedikit bingung saat baca karena lompatan perubahan alurnya bisa terjadi secara tiba2 yang ternyata itu adalah bagian dari pola atau cara berpikir Ncek.
Yaaa... alur buku ini mengikuti pola atau cara pikir yang ada dlm pikiran Ncek! Jadi ketika setting ada di masa sekarang, itu adalah saat menceritakan kondisi saat ini Ncek, pergumulan yang ada dalam pikirannya tentang kondisinya saat ini. Sementara ketika setting mundur ke masa lalu, itu berarti Ncek 'tiba-tiba' teringat dengan kejadian yang dialaminya dahulu yang relate dengan apa yang sedang dia pikirkan saat ini.
Dan meski buku ini menceritakan perjalanan hidup Ncek sejak kecil hingga tua, hingga dia merencanakan kematiannya ada beberapa bagian yang cukup relate entah dengan kondisi sosial saat ini atau kondisi secara pribadi.
Seperti misalnya percakapan antara A Pe (bapak angkat Ncek yang kemudian menjadi ayah mertuanya) dengan sahabatnya si pemilik toko sebelah tentang revolusi terasa masih relate dengan kondisi politik yang terjadi sekarang. A Pe merepresentasikan masyarakat awam yang 'realistis' meski terkesan agak masa bodo dengan urusan negara, yang hanya ingin hidup tenang. Sementara pemilik toko sebelah seperti masyarakat yang berhasil terpengaruh oleh janji-janji manis para politikus yg seakan-akan bisa membawa perubahan instan terhadap kondisi negara. Padahal kan ya belum pasti... 🤷♀️🤷♀️🤷♀️
"Kalian orang-orang politik cuma bisa ribut. Orang-orang lapar dan bosan dengan keributan kalian." -hlm.100"Orang-orang kecil berselisih, bahkan berkelahi, untuk masalah yang tidak mereka pahami." -hlm.102"Bilang kepada orang-orang di atas sana, berhentilah berebut kekuasaan. Rakyat butuh makan." -hlm.102
At the end, banyak nilai-nilai yang bisa kita ambil dari buku ini. Terutama tentang luka batin yang mungkin tak disadari tapi ternyata membawa dampak yang begitu besar. Sehingga penting bagi kita secara pribadi untuk bisa mengenal kondisi psikis kita. Jika memang ada luka batin yang perlu dan harus segera diselesaikan/disembuhkan maka segerakanlah. Perlu bantuan profesional? Pergi saja tak perlu takut. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum semuanya menjadi luka yang tak akan pernah bisa disembuhkan yang mungkin bahkan bisa membuat luka bagi orang lain.
Seperti sebuah pesan dari Ncek di bagian akhir buku:
"Anak-anakku, bacalah catatan-catatanku dengan baik karena sejarah bisa berulang dalam bentuk berbeda. Percayalah, kalian tidak menginginkannya. Maafkan. Maafkan aku karena tak mampu menjadi masa lalu yang baik untuk kalian. Aku adalah ayah kalian yang tak pernah pulih dari rasa sakitnya. Kalian memang tidak pernah benar-benar mengenalku. Tapi, kalian sudah kumaafkan karena maaf-lah yang membebaskan walau takkan melupakan." -hlm 265.
ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
So, overall aku memberi buku ini poin 8.8/10.
Dan seperti yang sudah beberapa kali aku bilang di twitter, buku ini kemungkinan akan menjadi salah satu buku favoritku di tahun 2023.
Tertarik untuk ikutan baca?
Tapi.... tapiii..... kalau tertarik ikut baca, pastikan kamu dalam kondisi psikis yang siap yaa. Jangan memaksa baca buku ini jika kondisi psikismu tidak siap. Berhenti saja jika sudah tidak nyaman dan merasa triggered banget. Seperti pesan Mas Wis padaku saat aku sambat di awal-awal baca buku ini.
Pesan dari Mas Wis ketika membaca bukunya |