Aku menggenggam medali emas yang masih menggantung di leherku lekat-lekat. Di dekatku dua botol minum berwarna merah dan biru berdiri bersisian seolah sedang berpelukan haru melihat kemenanganku sore tadi.
"Match won by Arditha Santoso 21-15 21-10."
Suara dari wasit yang mengumumkan skor hasil kemenanganku sudah tak lagi terdengar oleh telingaku. Aku sudah larut sendiri dalam pikiranku. "Amira, lagi-lagi aku memenuhi janjiku untuk menjadi juara. Kau lihat....??"
Suara dari wasit yang mengumumkan skor hasil kemenanganku sudah tak lagi terdengar oleh telingaku. Aku sudah larut sendiri dalam pikiranku. "Amira, lagi-lagi aku memenuhi janjiku untuk menjadi juara. Kau lihat....??"
***
"Aku dengar kau akan pergi..." tanya Amira pada pemuda bernama Arditha di depannya.
"Ya... “Benar, aku lolos seleksi dan dipanggil untuk bergabung di Pelatnas.”
Mata gadis itu seketika tampak kosong. Kemudian ia mengerjap dan langsung saja setetes kristal bening jatuh
mengikuti gaya gravitasi dari iris matanya. Ia… menangis.
“Hei, tak usah terlalu dipikirkan. Sekarang komunikasi sudah canggih, kita ‘kan bisa berkomunikasi lewat telepon, SMS, ataupun, internet,” hibur Arditha. "Jadi jangan menangis lagi, oke..??" Arditha merengkuh Amira dalam pelukannya dan perlahan ia merasa Amira mengangguk pelan di pelukannya.
“Hei, tak usah terlalu dipikirkan. Sekarang komunikasi sudah canggih, kita ‘kan bisa berkomunikasi lewat telepon, SMS, ataupun, internet,” hibur Arditha. "Jadi jangan menangis lagi, oke..??" Arditha merengkuh Amira dalam pelukannya dan perlahan ia merasa Amira mengangguk pelan di pelukannya.
Arditha menyudahi pelukannya. Tentu saja ia tak mau Amira larut dalam kesedihan. Lagipula Arditha bisa merasakan kaosnya mulai basah oleh air mata dan tentu saja ia tak mau pulang dengan baju yang basah.
Pemuda itu kemudian menarik ranselnya mendekat. Mengeluarkan berbagai isinya. Sebuah sapu tangan dipakainya untuk menghapus sisa-sisa air mata yang membekas di pipi marun gadis itu.
Pemuda itu mengeluarkan botol air minumnya dari ransel. Lalu mengulurkan pada Amira, “Mau minum?”
Amira menggeleng pelan. “Trims, tapi aku sudah punya. Aku kan hari ini latihan. Apa kau lupa?” Gadis itu kembali merekahkan senyum terbaiknya sembari mengambil botol air minumnya dari tas olahraganya. Arditha hanya tersenyum tipis mendengarnya, ditariknya kembali uluran tangannya.
Amira menggeleng pelan. “Trims, tapi aku sudah punya. Aku kan hari ini latihan. Apa kau lupa?” Gadis itu kembali merekahkan senyum terbaiknya sembari mengambil botol air minumnya dari tas olahraganya. Arditha hanya tersenyum tipis mendengarnya, ditariknya kembali uluran tangannya.
Tiba-tiba, terbesit ide di kepalanya.
"Amira, bagaimana bila kita bertukar botol air minum?”
Amira yang sedang meneguk air minumnya langsung berhenti. “Maksudmu?”
“Ya, kita bertuka botol air minum lalu nanti setelah kita bertemu lagi, kita harus mengembalikannya pada pemiliknya!” Tanpa ragu, pemuda itu mengutarakan idenya.
Beberapa detik, Amira tampak berpikir. Namun akhirnya gadis itupun menyetujuinya.
“Baiklah! Janji ya, kau jaga baik-baik botol air minumku.” Gadis itu mengulurkan jari kelingkingnya.
“Heh? Apa itu?” Arditha mengernyitkan dahinya. Bingung dengan uluran kelingking dari Amira.
“Kata Ayahku, bila berjanji kita harus saling mengaitkan kelingking kita! Seperti di film-film.” Gadis itu meraih jari kelingking Arditha lalu mengaitkannya dengan kelingkingnya sendiri. Sementara Arditha hanya mengangguk-angguk mengerti.
“Kita bertemu di sini lagi secepatnya setelah aku meraih juara dan saling mengembalikan botol air minum ini. Janji!” Arditha berjanji yakin. Kaitan kelingking pertanda janji yang—mungkin—takkan bisa ditepati.
***
"Ar.... Ingat Amira lagi?" sebuah suara dan tangan besar yang menyentuh pundakku mengagetkanku.
"Dion.."
"Mungkin kau bisa mengunjungi makamnya. Kuantar kalau kau tak keberatan."
"Terima kasih..." ucapku pelan. Satu-satu, secara bergantian aku memandangi botol minum berwarna merah-biru yang berdiri beriringan itu dan foto terakhir Amira yang diberikan Dion saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Amira....
Sudah tiga tahun kau pergi.... sudah banyak juara yang kuraih. Tapi kenangan dan janji bersamamu tak pernah hilang dan tak terganti.
Based by song:
Marcell - Takkan Terganti
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku