"Lo masih punya 'rasa' sama Charlita, Ndre? Si model matre itu? Hey apa kata dunia?"
"Shut up your mouth, Jay. Gue tau lo sahabat baik gue. Tapi untuk urusan ini gue harap lo nggak ikut campur."
"Saat ini nama lo sebagai violist cerdas itu harus lo jaga, Ndre. Gue sebagai sahabat gak mau nama baik lo itu tercemar gara-gara lo masih ada hubungan sama si Baby Chay itu," Jay mengucap panggilan Charlita itu dengan nada manja layaknya Charlita yang mengucap saat ia mengakhiri khotbahnya.
"Lo gak pernah tahu sisi lain si Chay, Jay. Jadi lo gak berhak menjudge dia seenaknya.
"Terserah lo deh, Ndre."
Jay keluar dari ruanganku. Kemudian ingatanku melayang ke pertemuanku dengan Charlita tiga tahun lalu di Paris. Saat itu aku masih menyelesaikan sekolah biolaku di sebuah universitas musik terkenal di Paris.
Pertemuan pertama kami di bawah menara Eiffel dengan senyum Charlita yang mengembang saat melihatku usai memainkan biolaku di taman dekat Eiffel. Meski banyak orang yang melihat aksi kecilku itu, tapi senyum Charlita yang sangat menarik perhatianku. Senyum tulus yang tak dibuat-buatnya. Senyum itu tak pernah diperlihatkannya saat ia memikat pengusaha-pengusaha kaya yang dikejarnya untuk dipacarinya.
Charlita memang model yang sepanjang hidupnya selalu mengejar-ngejar laki-laki kaya untuk dipacarinya demi keuntungan pribadinya. Untuk bisa memenuhi keinginannya memiliki baju, sepatu dan tas ber-merk terkenal.
Tapi ada satu masa aku dan dia dipertemukan dalam satu keadaan dimana kami harus hidup dalam kekurangan bersama. Charlita harus menumpang di rumah kakakku yang seorang penjual bubur ayam. Ia harus rela menanggalkan baju, sepatu, dan tas ber-merknya. Berhari-hari ia menangis saat itu, tapi di balik tangisnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ia memiliki keteguhan hati yang kuat untuk keluar dari 'hidup sengsara' yang disebutnya. Dan hal itulah yang memotivasiku untuk menggapai cita-citaku menjadi violist ternama.
"Kau memiliki bakat alami yang harus terus kau perjuangkan, Andreas Wisasongko. Akan sia-sia bakatmu kalau kau tak perjuangkan dan kau tak bisa menjadi violist terkenal di seantero negeri ini. Jika kau terkenal, hidupmu tak akan lagi susah seperti ini."
Satu kecupan mendarat di bibirku setelah Charlita mengatakan kata-kata motivasi itu.
Satu kecupan yang tak pernah kulupakan.
Perlahan aku menyapu bibirku dengan ujung ibu jari mencoba merasakan bibir Charlita yang lembut itu. Kututup kedua mataku, membayangkan ciuman singkat kami malam itu.
Lama aku membayangkan......
Ceklek.....
"Andreas...." suara lirih itu, suara yang kukenal. Aku berdiri dari dudukku dan menoleh ke arah pintu.
"Charlita...."
Based by song:
Shania Twain - You're Still The One
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku